Senin, 23 Mei 2011

ASAL USUL nama & simbol SURABAYA

Asal kata "SURABAYA" dan Simbol "SURA" dan "BAYA"

Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M. Dalam prasati tersebut terungkap bahwa Surabaya (churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Brantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai Brantas.

Surabaya (Surabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1365 dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir).

Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M (prasasti Trowulan) & 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tsb.

Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.

Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah kraton di Ujunggaluh, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.

Kata "Surabaya" juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya).

Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk oleh pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata "sura ing bhaya" yang berarti "keberanian menghadapi bahaya" diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.

Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan sura dan buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan sura dan buaya diceritakan oleh LCR. Breeman, seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.

----------------------------------------------------------------------

Sumber :
* Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996

Kerajaan Surabaya (*luput dari catatan)

KERAJAAN SURABAYA yang Luput dari Catatan
Sunday, 27 May 2007
Surabaya

Tidak cukup dengan reportase surat kabar jika ingin menelusuri satu-persatu asal-muasal nama kampung di Surabaya. Kali ini saya mulai masuk pada ranah catatan sejarah pemerintahan di Surabaya. Di perjalanan ceritanya nanti, muncul kampung-kampung baru yang berpatron pada sumbu keraton ini.

Saya sempat menyinggung kisah Mbah Brondong alias Pangeran Lanang Dangiran dalam catatan Kamis (24/5). Jika sempat mampir di kompleks makam Sentono Botoputih, sebelah timur Kampung Ampel, Makam Mbah Brondong menjadi sumbu spiritual para peziarah.

Dialah Bupati Surabaya pertama atau menurut catatan sejarah Belanda jabatan tradisional itu disebut Kanjeng Adipati. Puluhan nisan di pesarean Sentono Botoputih itu adalah adipati Surabaya dan keturunannya yang bergelar Raden Panji. Namun di Jalan Bibis sebelah utara Indo Plaza juga ada kompleks makam lawas yang diyakini juga pesarean trah adipati Surabaya.

Kali ini mari mendalami catatan sejarah Surabaya. Beberapa penulis Barat menyebut penguasa Surabaya dengan The King of Surabaya. Tetapi apakah struktur pemerintahan kadipaten dengan kerajaan itu hanya sekadar penyebutan untuk objek yang sama. Atau sebelum kadipaten, Surabaya pernah berdiri kerajaan, namun luput dalam catatan sejarah?

Mari dicari sama-sama. Faktanya, dalam semua manuskrip tentang Surabaya tidak pernah tercatat nama raja, tidak ditemukan petilasan makam raja Surabaya kecuali makam adipati. Tidak ada seorang pun dari kepala pemerintahan yang bergelar sultan walau semuanya berpenduduk muslim. Bahkan dongeng rakyat Surabaya juga berkutat pada sosok adipati.

Namun faktanya, saat ini jejak Surabaya sebagai sebuah pemerintahan kerajaan masih mudah ditemukan. Jika anda berjalan menyusuri Jalan Kramat Gantung, di sebelah barat jalan ini Anda akan menemukan secuil kampung dengan nama Kraton. Saya yakin nama kampung ini bukan asal comot untuk gagah-gagahan.

Di sekitarnya terdapat kampung yang berbau laiknya struktur kerajaan. Ada nama Kranggan, Praban, Carikan, Kepatihan, Tumengungan, dan lain sebagainya. Terdapat Jalan Kebonrojo alias kebun raja yang ada di selatan kantor Pos Besar sekarang. Penamaan kampung itu mirip dengan nama kampung di dalam benteng Keraton Jogjakarta. Sekitar tahun 1950-an saya sering melihat orang menemukan ornamen struktur batu bata seperti candi setiap ada orang membongkar rumah di kawasan ini, jelas A Hong, warga Kramat Gantung.
Benarkan kerajaan itu pernah lahir di Surabaya? Dalam sejumlah diskusi ilmiah masih menjadi perdebatan. Namun wacana itu harus diketahui, sejumlah catatan yang saya temukan menyebutkan, kerajaan kecil Surabaya itu diyakini sudah ada sekitar 1365, ini seperti yang ditulis Empu Prapanca. Saya menemukan terjemahan karya Empu Prapanca di Museum Nasional beberapa waktu lalu.

Kerajaan Surabaya juga mencatat cerita justru dalam manuskrip kerajaan lain. Di antaranya riuh rendah perlawanan kerajaan Surabaya dengan kerajaan Mataram. Kisah ini akan saya tulis hari berikutnya. Sebab kisah ini juga tercatat disejarah Mataram.

----------------------------------------------------------------------

sumber : forum.detiksurabaya.com